ditulis oleh dr. Rhama Patria Bharata,
tim Medis PT Masa Cipta Husada
Penyakit ginjal merupakan masalah kesehatan yang semakin banyak muncul secara merata di seluruh dunia. Prevalensi orang yang mengalami gagal ginjal secara umum adalah 215 orang tiap satu juta populasi (Yang et al, 2015). Sedangkan di Indonesia sendiri, prevalensi gagal ginjal adalah sebesar 2% dan menempati peringkat 10 penyebab kematian di Indonesia (presentasi Nila F Moeloek pada peringatan Hari Ginjal Sedunia 2018). Menurut hasil Global Burden of Disease 2010, Penyakit Ginjal Kronis menjadi penyebab kematian peringkat ke 27 pada tahun 1990, dan meningkat menjadi peringkat 18 pada tahun 2010 dengan 16,3 kematian per 100.000.
Gejala yang muncul pada penyakit ginjal kronis ini memang tidak terlalu terlihat. Beberapa pasien ada yang merasakan lemas, mual-mual, sesak nafas, bengkak pada kaki, atau produksi urinnya menurun (jarang buang air kecil). Namun, bisa juga pasien yang tidak merasakan gejala apa-apa meskipun hasil laboratorium menunjukkan kadar ureum dan kreatinin yang di atas ambang normal (merupakan tanda gangguan fungsi ginjal). Perlu adanya kesadaran bagi masyarakat kita untuk waspada terhadap kesehatan dirinya, supaya jika ada penyakit bisa segera tertangani pada stadium awal. Pasien yang mengalami penyakit ginjal kronis perlu menerima pengobatan yang berkesinambungan supaya dapat mempertahankan fungsi ginjalnya yang masih tersisa. Terutama pada penyakit ginjal kronis tahap akhir (End Stage Renal Disease) atau disebut Gagal Ginjal, pasien perlu menerima terapi pengganti ginjal (TPG).
Ada beberapa pilihan terapi pengganti ginjal (TPG), misalnya transplantasi (cangkok) ginjal, namun tidak semua pasien beruntung bisa menjalani operasi ini dikarenakan antrian yang pajang untuk dapat kesempatan menjalani operasi transplantasi ginjal. Selain itu perlu ada donor yang cocok dan serangkaian seleksi kesehatan yang ketat. Pilihan lain adalah Peritoneal Dialysis (PD atau CAPD), yaitu proses cuci darah yang dilakukan menggunakan membran peritoneal di dalam perut. Meskipun pasien tidak harus datang ke rumah sakit untuk cuci darah, namun tidak semua pasien bisa mengoperasikan Peritoneal Dialysis secara mandiri. Banyak kejadian infeksi (peritonitis) dan ada kemungkinan selang di dalam perut macet karena selang menekuk atau tersumbat.
Hemodialisis merupakan pilihan yang paling mudah. Di rumah sakit atau klinik hemodialisis, pasien ditangani oleh tenaga kesehatan profesional sehingga jika ada keluhan, bisa segera ditangani atau dikonsultasikan kepada dokter yang berwenang. Selain itu dalam satu sesi hemodialisis, terdapat beberapa pasien yang menjalani terapi serupa, hal ini dapat meningkatkan dukungan emosional dari sesama pasien untuk tetap sehat dan menjalani pengobatan. Proses hemodialisis hanya berlangsung 5 jam dan dilakukan seminggu dua kali, proses ini lebih singkat dibandingkan menjalani peritoneal dialysis yang hampir tiap hari harus dijalani. Selain itu hemodialisis juga dapat dikombinasikan dengan terapi lain seperti hemofiltrasi atau hemoperfusi yang dapat memaksimalkan terapi sesuai kebutuhan masing-masing pasien.
Salah satu tujuan dari terapi hemodialisis adalah mengurangi racun (toxin uremicum) yang menumpuk dari dalam tubuh, terlihat dari kadar ureum dan kreatinin darah. Darah tidak hanya "dicuci" kandungan racunnya, lebih dari itu, terapi hemodialisis juga dapat menyeimbangkan keasaman dan elektrolit darah dan dapat mengurangi kelebihan cairan dalam tubuh melalui proses ultrafiltrasi. Dengan prinsip-prinsip tersebut, terapi hemodialisis diindikasikan pada pasien dengan kondisi berikut:
- Asidosis berat : darah terlalu asam akibat penyakit metabolisme, misalnya diabetes tidak terkontrol dengan kadar gula darah yang sangat tinggi.
- Uremicum : kadar ureum dalam darah tinggi, disebabkan karena kegagalan fungsi ginjal membuang hasil metabolisme ke dalam urin.
- Intoksikasi : hemodialisis dapat mengurangi kadar racun yang masuk ke tubuh, misalnya pada kasus keracunan methanol.
- Electrolyte Imbalance : pasien dengan kadar kalium yang tidak normal, misalnya kelebihan kalium dan natrium.
- Overload Cairan : adanya penumpukan cairan di dalam tubuh (kaki bengkak, perut buncit, sesak nafas) akibat cairan yang masuk ke tubuh tidak seimbang dengan yang keluar dari tubuh (karena tidak bisa buang air kecil).
Terapi hemodialisis bukanlah sesuatu yang menyeramkan. Tidak seperti bayangan film horor yang dimana-mana ada bercak darah. Proses hemodialisis aman dan bersih karena darah keluar dan masuk ke tubuh melalui selang yang steril. Selama hemodialisis pasien juga bisa tidur atau melakukan aktivitas lain seperti membaca, mengobrol, main HP, atau makan makanan kecil. Secara umum, proses hemodialisis adalah sebagai berikut: Setelah diperiksa dan dinyatakan layak oleh dokter, perawat akan menghubungkan darah pasien ke mesin hemodialisis baik melalui jalur AV-Shunt, melalui catheter double lumen (CDL), atau jalur lain sesuai yang dipunyai pasien. Darah dari tubuh pasien dipompa keluar melalui selang (bloodline) masuk ke dializer. Dializer ini adalah ginjal buatan (artificial kidney) yang terdiri dari serabut-serabut membran halus yang dapat menyaring darah. Darah yang keluar dari dializer akan masuk kembali ke tubuh pasien. Proses ini berlangsung sekitar 5 jam pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin, atau sekitar 3 jam pada pasien yang baru pertama kali menjalani hemodialisis.
Mengutip pidato Bapak Andreas Japar dalam pembukaan Klinik Hemodialisa Cipta Husada Muslimat NU Purworejo, jaman dahulu, jika ada orang yang divonis mengalami gagal ginjal, hanya ada satu kata yang muncul di benaknya, yaitu "mati". Harapan untuk hidup sehat seakan pupus karena ginjal yang sudah rusak, pengobatannya begitu mahal, dan hanya ada di kota besar. Sekarang keadaan sudah berubah. Rumah sakit di daerah mulai membuka layanan hemodialisis. Klinik-klinik hemodialisis juga banyak dibangun untuk melayani pasien gagal ginjal. Dari segi pembiayaan, banyak dukungan baik dari swasta dan pemerintah dalam bentuk jaminan kesehatan. Pada era BPJS, pasien gagal ginjal dapat menjalani terapi hemodialisis secara rutin. Survey tahun 2016 menunjukkan bahwa 90% pasien hemodialisis menggunakan pembiayaan dari JKN, 7% pasien membayar sendiri dan 3% menggunakan asuransi swasta atau ditanggung oleh perusahaan (IRR, 2016)
Anggapan bahwa orang jika sudah dilakukan cuci darah nanti selamanya bakal tergantung dengan mesin, itu anggapan yang kurang tepat. Pada kasus tertentu sepertu gagal ginjal akut (misalnya karena infeksi leptospira, keracunan jengkol, dehidrasi) fungsi ginjal dapat pulih seperti sedia kala meskipun sempat dilakukan cuci darah di rumah sakit. Sedangkan pada kasus gagal ginjal kronis (misalnya karena komplikasi diabetes, hipertensi, infeksi, batu ginjal) fungsi ginjal memang sulit untuk pulih dan ada kemungkinan fungsinya semakin menurun. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan karena perkembangan penyakitnya dan bukan karena efek dari hemodialisis. Ginjal bisa saja rusak, namun kualitas hidup harus tetap terjaga. Pasien dengan gagal ginjal kronis jika disiplin menjalani terapi hemodialisis beserta pengobatannya akan bisa menikmati hidup seperti orang yang sehat pada umumnya, bisa kembali bekerja, melakukan peran sosialnya di masyarakat, dan tentu saja bisa menikmati waktu bersama keluarga.
Dari ulasan ini, diharapkan pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal tidak ragu jika dokter menginstruksikan untuk menjalani hemodialisis. Dengan menjalani terapi secara disiplin, maka kualitas hidup menjadi lebih baik.
<< KEMBALI